PANDANGAN – Sore tadi, Saya sempat baca media online, bertajuk; “Sikap Norwegia Menarik Diri Dari Tambang Nikel Weda, Momentum Stop Rusak Hutan Halmahera”.
Dan, kala malam tiba, ingatkan bacaan sore tadi masih saja terbesit kuat, lalu kemudian muncul rasa was-was atas hutan Pulau Mangoli yang telah dilabeli Izin Usaha Pertambangan (IUP).
Berita yang saya baca tadi itu, intinya Norwegia mengambil sikap berkelas dan penuh nilai etis kemanusian. Satu keputusan yang mengguncang dunia internasional.
Disaat negara lain memilih konsisten untuk bertahan di Halmahera, Norwegia justru menarik dari, bukan karena masalah administrasi yang mengganjal, bukan pula masalah untung rugi atau finansial lainnya, melainkan ada hati yang tergelitik kala menyaksikan secara langsung kehancuran nyata benar-benar terjadi.
Mereka tau, tambang Nikel Halmahera bisa mendatangkan profit, mereka juga paham kalau Nikel Halmahera bisa menjamin kesejahteraan Negaranya. Tapi keuntungan demikian tidak sebanding dengan kerusakan permanen.
Apa gunanya meraut keuntungan yang besar, jika suku-suku yang mendiami hutan Halmahera harus jadi korban? Apa gunanya bertahan di Halmahera, jika perusahaan tambang begitu bringas merusak alam, hutan dan lingkungan?
Mereka pergi bukan karena gagal, tetapi sadar kalau bertahan hanya semakin memperburuk kerusakan lingkungan dan penderitaan suku pribumi.
Manarik diri adalah cara terhormat serta sikap yang bermartabat. Paradigma demikian telah sampai pada satu titik dimana manusia dan alam semesta adalah satu kesatuan yang harus dijaga.
Disisi lain, atas nama kesejahteraan rakyat Indonesia, maka hirilisasi pertambangan dibutuhkan. Pemerintah kemudian fokus menerbitkan IUP pada daerah-daerah yang dianggap berpotensi memiliki kandungan; emas, migas, nikel, batu bara dan biji besi.
Pulau Mangoli pun masuk dalam radar. Tak tanggung-tanggung 10 IUP telah dikeluarkan sekaligus dipulau kecil tersebut. Kini, Tanah dan Hutan Mangoli dikapling dengan regulasi yang mengikat. Selanjutnya, jika waktunya tiba, segalanya pasti berjalan sebagaimana diatur regulasi.
Cepat atau lambat, kita tinggal menunggu waktu, kapan amukan Eksavator dan Buldoser akan membelah tanah Mangoli.
Gemuruh suara mesin penghancur tersebut akan menggeser suara keheningan alami alam. Keganasan kekuatan mesin-mesin baja itu akan merubah tanah, gunung, hutan, pohon, semak belukar yang tadinya eksotis, kini menjadi rerentuhan mati, menjadi tanah gersang.
Tak peduli seberapa besar kerusakan lingkungan. Perusahaan tambang tetap konsisten berjalan dengan visinya, profit atau keuntungan, tanpa pamrih, tanpa permisi, tanpa ampun.
Pohon akan ditebang dalam skala besar, isi perut bumi akan digaruk. Dampak yang terjadi kemudian adalah kerusakan lingkungan yang mengerikan.
Air yang tergenang di lubang tambang akan menjadi sarang berkembang-biaknya berbagai sumber penyakit yang mematikan. Demikian, sumber mata air bersih yang tercemari limbah, berbahaya untuk dikonsumsi.
Asap hitam pekat yang keluar dari pipa-pipa mesin, menciptakan polusi udara.
Laut yang tercemari logam berat mengakibatkan terumbu karang hancur, ikan sekitar teluk dan pesisir akan terinfeksi logam berat.
Adat dan budaya lokal berpotensi terkikis. Gaya hidup kapitalis yang serba high class dan hedonis, bisa saja akan menjadi tren baru. Lingkungan soal baru itu cepat berkembang sebagai potret kehidupan yang akan ditiru.
Ancaman lain yang mungkin datang adalah banjir rob dan longsor, merobohkan rumah warga, termasuk bisa menelan korban jiwa. Petaka itu nyata, pernah terjadi, bahkan sebelum perusahaan tambang benar-benar beroperasi, “(Baca: Kronologi banjir Mangoli)”.
Sejujurnya, Pulau Mangoli jauh lebih rapuh. Manggoli bukanlah Papua, bukan pula Kalimantan. Ia bahkan lebih kecil dari Halmahera.
Untuk itu, kita layak belajar dari Norweggia. Harus bersikap, jangan diam, sampai di kemudian hari bencana mengerikan benar-benar akan menerjang Mangoli. Lalu yang tersisa hanya penyesalan dan ucapan kata ‘bela sungkawa’. Rasanya kita telat.
Bersikap bukanlah satu tindakan makar, bersikap adalah manivesto keberlanjutan perjuangan titah para petuah dalam menjaga “Hai Poa Bai, (tanah tercinta)”. Yang demikian jauh lebih mulia, ketimbang menjilat dibawa ketidak pengusaha dan korporasi.
Saya percaya, bahwa perjuangan Aliansi Masyarakat Bumi Mangoli selama ini, dalam menolak 10 IUP Mangoli, merupakan upaya menjaga hutan Mangoli semata, tak ada tendensi lain, selain itu. Adalah murni perjuangan harkat dan martabat sebagai anak kandung negeri ini. Dan selayaknya, mendapat perhatian khusus dari Pemda dan DPRD Sula.
Mari bersama-sama kita suarakan Tolak IUP Mangoli. Gumam ini, akan selalu bergema, Semoga (*)
Penulis: Arman Buton